Kisah Meirina: 7 TAHUN MENGAJAR DI PENJARA



Berburu Keikhlasan di Dalam LAPAS

Menjadi pengajar di lembaga pemasyarakatan (LAPAS) adalah salah satu cara Meirina Wanti menjadikan hidupnya lebih bermanfaat bagi orang lain. Tujuh tahun sudah, ia menggeluti profesi ini tanpa pamrih, namun penuh keikhlasan.

Tidak terbayangkan sebelumnya, gadis bernama lengkap Meirina Wanti atau yang akrab dipanggil Mei ini bisa mengajar selama bertahun-tahun di LAPAS. Berawal dari ajakan seorang ibu saat mengaji tafsir Alquran di dekat rumahnya, di RT 06 RW 02, Desa Sepande, Kecamatan Candi, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur. Ia pun diajak bergabung dalam sebuah lembaga bimbingan belajar (LBB) Sekar Mentari. Sekar Mentari ini tidak hanya tempat bimbingan belajar, namun juga sebagai media dakwah dan sosial.
“Saat itu aku baru kelas tiga SMP. Diajak oleh Bu Rosida Ekowati selaku ketua yayasan LBB Sekar Mentari. Dari sana aku mulai belajar menjadi tutor,” ungkapnya.
Awalnya, keikutsertaan Mei hanya ingin belajar sambil bekerja saja. Saat duduk di bangku SMA, rutinitas yang dilakukan selain sekolah adalah mengajar private TPQ dan siswa SD. “Waktu itu aku digaji Rp 93 ribu, gaji pertama yang bagiku sebagai anak SMA sudah sangat banyak sekali,” kata Mei sambil tertawa.
Di Sekar Mentari, gadis kelahiran 22 Mei 1992 menjelaskan, banyak sekali manfaat yang ia dapatkan. Kajian tafsir Alquran selalu diagendakan tiap minggu, upgrading keilmuan juga setiap minggu, kewajiban membaca buku dan entrepreneur. “Sekar Mentari bagiku bukan hanya sebagai tempat bekerja, tapi menimba ilmu,” katanya.

BELAJAR DARI PARA TAHANAN
Setelah menjadi tutor bimbingan belajar, buah hati dari pasangan (Alm) Suliono dan Tuminah ini  tidak hanya
berhenti di sini. Ia dan teman-teman Sekar Mentari mulai menjadi pengajar di LAPAS. Materi yang diajarkan kepada para tahanan ini berkaitan tentang tafsir Alquran, fikih, hadis, ilmu sains yang dikolaborasikan dengan ilmu agama, juga tentang kesehatan. “Aku ingat pertama kali mengajar saat kelas 1 SMA di LAPAS Kelas 1 Surabaya yang berada di Porong,” kenang gadis yang hobi membaca novel ini.
Diakui oleh Mei, tidak ada ketakutan sama sekali saat pertama kali mengajar di LAPAS. Berbeda dengan mengajar private bersama dengan anak-anak. Ketika di LAPAS, ia harus berhadapan dengan para narapidana dengan berbagai kasus kriminal yang usianya jelas lebih dewasa dibanding dirinya. “Alhamdulillah, tidak ada rasa grogi dan takut sama sekali. Saya datang dengan niat baik. Dan, para tahanan ini pun menyambut baik kehadiran saya, mereka sangat sopan dan menghargai keberadaan saya,” paparnya.
Hal yang paling berkesan dan selalu Mei ingat saat mengajar di LAPAS, ketika itu terjadi perkelahian antara tahanan yang notabene adalah murid Mei. Perkelahian tersebut terjadi usai ia mengajar. “Saya sempat kaget mereka tiba-tiba berkelahi. Para tahanan ini sangat sensitif sekali, jadi ketika ada hal yang kurang berkenan, mereka cenderung marah. Saya maklumi karena selama bertahun-tahun ia berada di LAPAS dan beberapa dari mereka juga tidak pernah dijenguk oleh keluarganya. Saya pun banyak belajar dan mendalami permasalahan dari masing-masing murid saya ini,” jelas Mei.
Terhitung sudah tujuh tahun Mei menjadi pengajar di LAPAS. Rutinitas ini selalu ia lakukan satu minggu sekali. Mei pun mengutarakan keinginannya bahwa ia ingin menjadi manusia yang bermanfaat bagi orang lain. Dakwah yang ia lakukan di LAPAS semata-mata karena mencari rida Allah SWT. “Bisa dibilang menjadi tutor dan mendapat gaji adalah untuk urusan dunia, sedangkan mengajar di LAPAS ini adalah bekal untuk akhirat,” jelas anak ketiga dari empat bersaudara ini.



AKTIF DI ORGANISASI
Mahasiswa semester 8 Prodi Agri Bisnis UPN Veteran Surabaya ini tidak hanya menjadi pengajar sukarelawan di LAPAS. Ia pun aktif dalam organisasi. Baru saja Mei lengser dari jabatannya sebagai sekretaris umum pengurus wilayah Pelajar Islam Indonesia (PII) Jawa Timur. “Saya bergabung di PII sejak SMA, di sana pula ladang saya belajar,” ungkapnya.
Dari organisasi inilah Mei tumbuh menjadi gadis yang cerdas dan pemberani. Organisasi memberikan pengalaman yang luar biasa baginya. Tidak pernah takut, tidak pernah pantang menyerah, dan menjadi wanita yang tangguh meskipun sempat ditentang oleh orang tuanya. Mei pun pernah meninggalkan rumah selama tiga hari.
“Ibu pernah marah-marah karena saya tidak pernah pulang rumah dan menyuruh berhenti aktif di organisasi. Tapi, saya tidak bisa, bagi saya, organisasi adalah jiwa saya. Setelah semua dijelaskan dengan kepala dingin, akhirnya ibu mengizinkan saya terus berproses di PII,” kenang Mei sambil tersenyum.

HIDUP MANDIRI
Bukan Mei namanya kalau tidak ada sesuatu yang mengejutkan. Gadis 22 tahun ini sudah mulai hidup mandiri tanpa menggantungkan bantuan materi dari orang tuanya. Sejak duduk di bangku kuliah. ia pernah berjualan tempe dan telur organik yang ia peroleh dari Koperasi Sekar Mentari. “Program entrepreneur ini harus kami lakukan karena kita tidak bisa menggandalkan gaji seorang pengajar. Karena, menjadi pengajar jika hanya dinilai dari berapa banyak gajinya, ilmu yang disampaikan tidak bisa secara ikhlas dan mudah diterima siswa. Sehingga, dari kami semua harus mencoba untuk berwirausaha,” jelasnya.
Saat ini pun Mei memulai bisnis barang-barang bekas di rumahnya. Terinspirasi dari seorang penguasaha loakan yang sukses, ia mulai mengumpulkan barang-barang bekas tidak terpakai layak jual dari beberapa tetangganya. “Mau berbisnis, tapi belum ada modal, jadi saya woro-woro ke semua tetangga jika punya barang-barang loakan jangan dibuang, berikan ke rumah,” kata gadis berjilbab ini sambil terkekeh.
Jadi, saat ini di rumah Mei penuh dengan barang-barang loakan yang kemudian Mei jual di pengepul. Ketika ditanya, ‘Apa kamu tidak malu, Mei?’ Dengan tegas Mei menjawab,  ‘Asalkan halal, saya tidak malu.’ *02-is

Comments

Popular Posts